Minggu, 14 April 2013

Déjà vu

Suasana kafe itu sedikit lengang. Hanya denting pasangan sendok dan garpu yang beradu pelan dengan piring. Beberapa orang terdengar bercengkerama dengan suara nyaris berbisik dengan teman makan mereka, seperti cemas mengganggu kenyamanan pengunjung yang lain.

Sama seperti waktu itu.

Kamu meneguk sedikit air dari gelasmu yang masih penuh. Menyeka dahimu sekilas, kemudian mengalihkan pandanganmu ke arah kanan, menembus jendela kaca tak bertirai. Menatap hujan yang mulai turun dengan anggunnya. Lembut, seperti salju. Aku memalingkan kepalaku sedikit, membiarkan mataku ikut menikmati keindahan itu.

Sama seperti waktu itu.

"Aku mau kita berpisah", katamu lirih tanpa menatapku. Seakan-akan yakin bahwa aku tidak akan salah dengar. Aku diam. Melirikmu sekilas dengan ekor mataku, kemudian kembali memerhatikan hujan yang butirnya semakin besar dan kerap. Jendela kaca itu mulai berembun.

Sama seperti waktu itu.

"Aku tahu.. kamu pasti tak akan peduli..", lanjutmu pelan. Wajahmu mulai tertunduk. Kali ini aku berpaling menatapmu. Wajahmu memerah, dan tak lama kemudian butir bening mengalir dari sudut matamu. Aku bisa menduganya.

Sama seperti waktu itu.

"Aku lelah.. berusaha untuk menjaga cinta ini sendiri, jika ini memang bisa disebut cinta..", kamu berkata lirih. Aku diam. Tapi bukan karena tak peduli seperti katamu. Aku bisa menduga setiap kalimat bahkan gerak tubuhmu saat ini. Aku bisa menerka detil kejadian yang ada di sekitar kita. Semuanya..

Sama seperti waktu itu.

Kamu memaksakan senyum dalam isakmu. Seperti menertawakan dirimu sendiri. Aku tak suka melihatmu seperti itu. Tapi aku tetap dalam diamku. Tergugu. Aku tahu apa yang akan keluar dari mulutmu.
"Sepertinya tak ada lagi yang harus kita bicarakan.. Kamu diam, seperti biasanya..", kamu mengusap pelan air matamu.

Sama seperti waktu itu.

Keningku mulai berkerut. Hatiku mulai merasa. Otakku mulai bekerja. Bersamaan dengan kamu bangkit dari dudukmu.
"Jangan pergi..", itu kalimat pertama dariku. Kamu mematung.
"Aku cinta kamu, masih.. dan akan selalu begitu. Maaf jika selama ini aku terlalu banyak diam. Bukan karena aku tak peduli. Aku hanya tak tahu harus mengatakan dan melakukan apa saat bersamamu. Tapi percayalah, aku tak mau kehilangan kamu. Aku minta maaf. Aku.."
Aku tak melanjutkan kalimatku, kamu kembali terduduk di kursimu sambil menutupi wajahmu dengan kedua tangan. Tertawa pelan.
"Sudah cukup.. Aku sudah dengar..", kamu menurunkan kedua tanganmu, lalu tampaklah wajah itu. Wajah cantikmu dengan bekas air mata dan senyum yang mengembang.
"Sadarkah? Ini kalimat terpanjang pertamamu sejak kita pacaran..", kamu tersenyum makin lebar, membuatku merasakan kelegaan seolah baru saja sebongkah batu besar diangkat dari hatiku.
"Benarkah?", tanyaku bodoh, lalu ikut tersenyum.

Aku tak tahu semua itu apa. Visi dari masa depan. Ingatan dari masa lalu. Atau mungkin hanya perasaanku. Yang aku tahu, aku tak mau merasakan sakit itu, tidak lagi. Sakit karena kehilanganmu. Sakit karena membiarkanmu berlalu. Karena itu, aku menahanmu dan membiarkanmu mendengar isi hatiku. Dan kali ini, akhirnya..

Tak sama seperti waktu itu.